'Tingtung'. Suara itu berasal dari hape tanda ada chat whatsapp. Ternyata chat itu berasal dari sahabatku.
"We need to talk", begitu tulisan yang ada di hapeku.
"About?", balasku singkat.
"About today.", balasnya singkat pula. Kali ini firasatku mulai tak enak. Aku orang yang mudah untuk menebak-nebak dan hampir 100% tebakanku benar. Seingatku, dia hari ini ada janji dengan lelaki yang telah berhasil memesonaku sejak setahun lalu. Lamunanku buyar ketika aku ingat aku belum membalas chat sahabatku.
"You can talk here"
"It's better if we talk directly"
"No, now". Aku bukan tipe orang yang suka menunggu kabar, kabar baik maupun buruk.
"Yaudah nanti malam aku telepon", begitu balasnya. Dan akhirnya aku mengiyakannya.
Malam ini sesuai janjinya, aku ditelepon. Isi pembicaraannya bahwa lelaki memesona itu bersama dengan wanita lain. Ya, kabar yang ternyata tak membuatku kaget. Dan wanita itu, wanita yang sudah kukira sebelumnya.
Aku senang mendengarnya. Aku senang karena sahabatku berkata jujur padaku. Aku senang Allah menjawab doaku, menjawab apa yang sebenarnya terjadi dibalik ketidaktahuanku. Sudah dua kali ini aku ditunjukkan oleh Allah apa yang tidak kuketahui dari 2 pria yang kukagumi, kini dan 3 tahun lalu di waktu aku masih SMA. Dan kisahnya sama, aku tahu dari sahabat-sahabatku.
Aku tahu hal ini terjadi karena ketidakberanianku untuk menghubungi lelaki itu. Aku tidak menghubunginya karena aku menjaga diriku sendiri. Aku menjaga harga diriku, menjaga martabatku sebagai wanita. Aku rasa tak pantas seorang wanita memberi perhatian besar kepada lelaki yang belum halal baginya. Begitulah ajaran dalam agamaku, agama Islam.
Aku tak mau perhatianku terlalu besar kepada manusia lain dibanding Tuhanku dan keluargaku, terutama kedua orang tuaku. Aku ingin cinta yang tulus untukku bukan karena kedekatan sesaat melainkan karena cintanya kepada Allah dan agamanya. Aku rasa peristiwa ini adalah benar-benar jawaban Allah kepadaku bahwa saat ini bukanlah waktuku untuk memikirkan hal-hal selain studiku dan keluargaku, apalagi masalah cinta kepada makhluk-Nya yang di mata Allah amatlah belum pantas untukku. Dan Allah mengingatkanku kembali agar aku fokus untuk mengejar cita-citaku yang saat ini ada di depan mataku, studi di negara yang aku dambakan dari dahulu.
Aku menenangkan diriku sejenak setelah mendengar kabar itu. Aku bertanya dalam hatiku sendiri, "Bukankah dirimu sudah banyak tersakiti seperti ini Sil sebelumnya?". Hmmm, ya, bukan kali ini saja. Allah amat sayang padaku. Di kala cinta manusia menghampiriku, aku sandarkan pada-Nya, aku tanyakan pada-Nya, dan aku ikhlaskan pada-Nya. Ternyata semuanya tak seindah cerita dongeng. Aku berkhuznudzan pada Allah, mungkin bukan jodohku atau bukan saatnya aku merasakan indahnya cinta itu. Bukankah indahnya cinta yang sesungguhnya adalah ketika kita sudah menikah?
Ketika kita sudah berkomitmen bahwa kita akan menjalankan syariat dengan baik termasuk masalah cinta, pasti selalu ada ujian dari Allah, menguji seberapa kuatnya iman kita. Aku pernah membaca kisah cinta antara Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Az-Zahra. Betapa tegarnya hati seorang Ali bin Abi Thalib ketika Fatimah dilamar pria-pria yang dianggapnya melebihi dirinya. Namun semua itu ditolak oleh Fatimah dan ketika Ali bin Abi Thalib memberanikan diri melamar Fatimah, Rasulullah pun menerima lamarannya karena ternyata Fatimah telah jatuh hati padanya.
Aku berharap calon suamiku yang kelak akan menjadi suamiku akan bersabar dengan kisah-kisah cinta yang terjadi padaku hingga nanti aku dapat bersanding dengannya. Ya, layaknya Ali bin Abi Thalib. Aku mencintai pria bukan karena fisik maupun harta, tetapi aku mencintai pria karena agama, akhlak, dan kecerdasannya.
Syukron...
"We need to talk", begitu tulisan yang ada di hapeku.
"About?", balasku singkat.
"About today.", balasnya singkat pula. Kali ini firasatku mulai tak enak. Aku orang yang mudah untuk menebak-nebak dan hampir 100% tebakanku benar. Seingatku, dia hari ini ada janji dengan lelaki yang telah berhasil memesonaku sejak setahun lalu. Lamunanku buyar ketika aku ingat aku belum membalas chat sahabatku.
"You can talk here"
"It's better if we talk directly"
"No, now". Aku bukan tipe orang yang suka menunggu kabar, kabar baik maupun buruk.
"Yaudah nanti malam aku telepon", begitu balasnya. Dan akhirnya aku mengiyakannya.
Malam ini sesuai janjinya, aku ditelepon. Isi pembicaraannya bahwa lelaki memesona itu bersama dengan wanita lain. Ya, kabar yang ternyata tak membuatku kaget. Dan wanita itu, wanita yang sudah kukira sebelumnya.
Aku senang mendengarnya. Aku senang karena sahabatku berkata jujur padaku. Aku senang Allah menjawab doaku, menjawab apa yang sebenarnya terjadi dibalik ketidaktahuanku. Sudah dua kali ini aku ditunjukkan oleh Allah apa yang tidak kuketahui dari 2 pria yang kukagumi, kini dan 3 tahun lalu di waktu aku masih SMA. Dan kisahnya sama, aku tahu dari sahabat-sahabatku.
Aku tahu hal ini terjadi karena ketidakberanianku untuk menghubungi lelaki itu. Aku tidak menghubunginya karena aku menjaga diriku sendiri. Aku menjaga harga diriku, menjaga martabatku sebagai wanita. Aku rasa tak pantas seorang wanita memberi perhatian besar kepada lelaki yang belum halal baginya. Begitulah ajaran dalam agamaku, agama Islam.
Aku tak mau perhatianku terlalu besar kepada manusia lain dibanding Tuhanku dan keluargaku, terutama kedua orang tuaku. Aku ingin cinta yang tulus untukku bukan karena kedekatan sesaat melainkan karena cintanya kepada Allah dan agamanya. Aku rasa peristiwa ini adalah benar-benar jawaban Allah kepadaku bahwa saat ini bukanlah waktuku untuk memikirkan hal-hal selain studiku dan keluargaku, apalagi masalah cinta kepada makhluk-Nya yang di mata Allah amatlah belum pantas untukku. Dan Allah mengingatkanku kembali agar aku fokus untuk mengejar cita-citaku yang saat ini ada di depan mataku, studi di negara yang aku dambakan dari dahulu.
Aku menenangkan diriku sejenak setelah mendengar kabar itu. Aku bertanya dalam hatiku sendiri, "Bukankah dirimu sudah banyak tersakiti seperti ini Sil sebelumnya?". Hmmm, ya, bukan kali ini saja. Allah amat sayang padaku. Di kala cinta manusia menghampiriku, aku sandarkan pada-Nya, aku tanyakan pada-Nya, dan aku ikhlaskan pada-Nya. Ternyata semuanya tak seindah cerita dongeng. Aku berkhuznudzan pada Allah, mungkin bukan jodohku atau bukan saatnya aku merasakan indahnya cinta itu. Bukankah indahnya cinta yang sesungguhnya adalah ketika kita sudah menikah?
Ketika kita sudah berkomitmen bahwa kita akan menjalankan syariat dengan baik termasuk masalah cinta, pasti selalu ada ujian dari Allah, menguji seberapa kuatnya iman kita. Aku pernah membaca kisah cinta antara Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Az-Zahra. Betapa tegarnya hati seorang Ali bin Abi Thalib ketika Fatimah dilamar pria-pria yang dianggapnya melebihi dirinya. Namun semua itu ditolak oleh Fatimah dan ketika Ali bin Abi Thalib memberanikan diri melamar Fatimah, Rasulullah pun menerima lamarannya karena ternyata Fatimah telah jatuh hati padanya.
Aku berharap calon suamiku yang kelak akan menjadi suamiku akan bersabar dengan kisah-kisah cinta yang terjadi padaku hingga nanti aku dapat bersanding dengannya. Ya, layaknya Ali bin Abi Thalib. Aku mencintai pria bukan karena fisik maupun harta, tetapi aku mencintai pria karena agama, akhlak, dan kecerdasannya.
Syukron...