25.7.13

Pohon Rindang itu Saksinya




Angin berhembus sepoi-sepoi, waktu itu sore bernuansa mendung sedang menyelimuti kota Surabaya. Tak biasanya kota yang selalu disinari terik matahari serta dipenuhi kepulan-kepulan asap kendaraan jadi sesejuk ini. Laura sedang menikmati suasana yang jarang ia rasakan di bawah pohon rindang di tengah kampusnya. Diantara pohon rindang yang ada di kampusnya, hanya pohon yang sedang ia duduki sekarang adalah pohon favoritnya. Pohon yang dipenuhi dengan daun-daun menguning dan gugur satu demi satu selalu berhasil menenangkan jiwanya. 


Ia sedang asyik mengetik di depan notebooknya, menuliskan kata demi kata dalam karangannya. Ia duduk di kursi hitam panjang yang berada di bawah pohon rindang itu. Laura sudah menggemari kegiatan menulis baik cerita maupun puisi sejak ia duduk di bangku SMP, namun hobinya ini tak ia tekuni untuk menjadi profesi, hanya ia jadikan untuk mengisi waktu senggangnya, justru ilmu hukum lah yang ia pilih untuk menjadi dunianya.


Tak biasanya pula Laura duduk di bawah pohon rindang itu, hanya sesekali, itupun ketika ia ada rapat organisasi. Pohon rindang itu menyimpan kenangan tersendiri baginya, ia tak sanggup duduk berlama-lama di sana. Sebenarnya tujuan ia duduk di bawah pohon rindang kali ini untuk menunggu seseorang. Seseorang yang hampir 2 tahun tak pernah ia temui. Sosok yang selama ini hanya bisa ia lihat dalam dunia maya dan bercengkerama di whatsapp. Namun itu sudah cukup membuatnya bahagia, tersenyum sendiri, dan menyemangati hari-harinya. 


Sosok pria itu adalah Okan. Sehari sebelum Laura ada di pohon rindang ini, Okan mengirim pesan singkat bahwa ia ingin menemuinya di bawah pohon rindang itu, tempat pertama kali mereka bertemu dan tepat 2 tahun yang lalu, 1 Oktober 2011.

Sebenarnya Okan sudah cukup lama membuat hati Laura tertaut padanya, namun Laura merasa Okan hanya bermain hati hingga Laura memutuskan untuk memupuk dalam-dalam perasaannya. Kini ia telah menemukan sosok pria baru, namanya Brian, dan ia rasa pria ini lebih baik dari Okan meski dari segi humorisnya Okan tetap tak bisa dikalahkan. Walaupun begitu, ia tetap ingin menemui Okan, untuk mengetahui apa masih ada getar-getar cinta yang ia rasakan  dan bisakah ia melihat bening mata Okan yang ia tangkap terdahulu. 
♥♥♥♥♥♥♥♥♥

1 Oktober 2011...

Laura berjalan mengelilingi kampusnya. Ini adalah kali pertama Laura mengetahui keadaan kampusnya. Setelah ia selesai melakukan registrasi sebagai mahasiswa baru sekitar jam setengah 3 siang tadi, Laura memutuskan untuk berkeliling sejenak mengitari kampusnya sebelum kembali ke rumah, apalagi ia hanya sendirian mengurusi segala keperluan registrasi yang melelahkan. Rasa penasaran terhadap kampus yang diidam-idamkannya sejak bangku SMA juga mendorongnya untuk menelusuri gedung kuliahnya ini.


Laura mulai berjalan menyusuri lorong panjang di dalam kampusnya. Gedung ini penuh dengan ornamen-ornamen bernuansa Eropa. Maklum gedung ini adalah peninggalan jaman penjajahan Belanda yang saat itu digunakan sebagai kantor pusat pemerintahan. Di sepanjang Laura berjalan, ia melihat dinding lorong dipenuhi ukiran tulisan istilah-istilah hukum yang berbahasa Belanda. Laura berdecak kagum dengan kampusnya sendiri sampai tak sadar ketika ia telah keluar dari lorong dan di hadapannya kini terbentang pemandangan taman yang jarang ia temui di institusi pendidikan lain.


Sebuah taman yang dipenuhi pohon-pohon rindang yang daun-daunnya banyak menguning dan di tengah-tengahnya terdapat kolam berbentuk lingkaran yang sangat luas. Di tengah-tengah kolam itu terdapat lambang universitas tempat Laura kini kuliah yang terlihat megah, Universitas Majapahit, kampus favorit di kota kediaman Laura kini dan kolam itu dikelilingi oleh air mancur sehingga menambah kesan elegan pada setiap orang yang datang di kampus itu. Di pojok-pojok taman terdapat patung-patung tokoh pakar hukum dunia terkenal seperti Karl Marx dan Adam Smith.


Laura melangkahkan kakinya ke taman itu. Ia disambut oleh gugur daun-daun kuning yang jatuh perlahan tepat di hadapannya akibat terkena hembusan angin. Memang sekarang sedang musim pancaroba, terkadang panas namun bisa saja tiba-tiba hujan melanda atau mungkin hanya angin sepoi-sepoi diliputi angin mendung tanpa sinar matahari seperti sekarang ini. Laura menikmati sekali setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Ia memejamkan matanya sejenak sambil menengadahkan wajahnya ke langit lalu merasakan desiran angin yang menembus lapisan kulitnya. 


“Ah jarang sekali di kota sepanas ini aku bisa merasakan hawa sesejuk ini” gumam Laura.


Seketika Laura teringat kalau ia membawa kamera SLR kesayangannya, yang mengabadikan segala momen-momen penting dalam hidupnya. Kali ini tak boleh ia lewatkan, saat-saat ia baru mengenal kampusnya dan ia wajib mengabadikan momen ini tatkala pertama kali ia menginjakkan kaki di kampusnya, di tempat yang menjadi saksi bahwa ia kini diakui sebagai mahasiswa. Laura mulai mengambil foto dari sudut manapun, dari kolam yang ada di tengah taman kampusnya, daun-daun yang berguguran hingga memfoto dirinya sendiri dengan background kolam dan daun-daun kuning yang berguguran. Setelah puas dengan foto-foto dirinya di tengah taman kampus, ia ingin mengambil dari sudut yang lain. Ia memutuskan untuk duduk di kursi di dekat kolam. Kini ia memfoto orang-orang yang berlalu-lalang di depannya, mengambil gambar kesibukan orang-orang di kampus ini. Ia memfoto dari berbagai usia, mulai dari mahasiswa baru yang banyak mondar-mandir hingga para dosen yang membawa berkas-berkas registrasi maba menuju ke kantor dekanat yang ada di sebelah taman. Pandangan kameranya menuju ke kantor dekanat itu. Namun sebelum ia mengambil gambar kantor itu, tiba-tiba saja muncul sesosok manusia di lensa kameranya, dekat sekali. 


Laura terperanjat. Nafasnya terhenti sejenak. Ia heran mengapa tiba-tiba ada sosok pria di sampingnya. Pria itu memiliki rambut tipis dengan dahi yang lebar, alis matanya juga tipis dan kulitnya kuning langsat seperti warna kulit yang dimiliki orang Indonesia umumnya. Senyumnya, senyum lebar yang tersungging di wajah pria itu sama persis seperti senyum Laura ketika ia bahagia atau sedang menyapa teman-temannya. Bibir tipis yang dimilikinya menambah kemanisan sosok pria itu. Badannya tak kurus juga tak kekar, namun ia memiliki badan yang tegap dan lebih tinggi kira-kira 10 cm dari tinggi Laura. 
♥♥♥♥

Malam 1 Oktober menjadi malam saksi tanpa alasan Laura tersenyum-senyum sendiri di kamarnya. Pikirannya seperti sedang memutar video dalam otaknya ketika bertemu pria tadi siang. Tak biasanya Laura tak bisa melepas pandangannya pada sosok lelaki. Namun pria itu mampu mengobrak-abrik pikirannya padahal ia baru berkenalan beberapa jam saja. Pria itu menyimpan sesuatu, ya menyimpan sesuatu yang tak bisa Laura tebak.
Dan ketika ia sedang asyik dengan kenangan itu, seketika Laura berkata dalam hati,
“Pria tadi siapa namanya ya?”  
Lagi lagi kambuh kebiasaan buruk Laura ketika berkenalan dengan orang baru, tidak menghafal nama orang dengan seksama.