Angin berhembus sepoi-sepoi, waktu itu sore bernuansa
mendung sedang menyelimuti kota Surabaya. Tak biasanya kota yang selalu
disinari terik matahari serta dipenuhi kepulan-kepulan asap kendaraan jadi
sesejuk ini. Laura sedang menikmati suasana yang jarang ia rasakan di bawah
pohon rindang di tengah kampusnya. Diantara pohon rindang yang ada di
kampusnya, hanya pohon yang sedang ia duduki sekarang adalah pohon favoritnya. Pohon
yang dipenuhi dengan daun-daun menguning dan gugur satu demi satu selalu berhasil
menenangkan jiwanya.
Ia
sedang asyik mengetik di depan notebooknya, menuliskan kata demi kata dalam
karangannya. Ia duduk di kursi hitam panjang yang berada di
bawah pohon rindang itu. Laura
sudah menggemari kegiatan menulis baik cerita maupun puisi sejak ia duduk di
bangku SMP, namun hobinya ini tak ia tekuni untuk menjadi profesi, hanya ia
jadikan untuk mengisi waktu senggangnya, justru ilmu hukum lah yang ia pilih
untuk menjadi dunianya.
Tak
biasanya pula Laura duduk di bawah pohon rindang itu, hanya sesekali, itupun
ketika ia ada rapat organisasi. Pohon rindang itu menyimpan kenangan tersendiri
baginya, ia tak sanggup duduk berlama-lama di sana. Sebenarnya tujuan ia duduk
di bawah pohon rindang kali ini untuk menunggu seseorang. Seseorang yang hampir
2 tahun tak pernah ia temui. Sosok yang selama ini hanya bisa ia lihat dalam
dunia maya dan bercengkerama di whatsapp.
Namun itu sudah cukup membuatnya bahagia, tersenyum sendiri, dan menyemangati
hari-harinya.
Sosok
pria itu adalah Okan. Sehari sebelum Laura ada di pohon rindang ini, Okan
mengirim pesan singkat bahwa ia ingin menemuinya di bawah pohon rindang itu,
tempat pertama kali mereka bertemu dan tepat 2 tahun yang lalu, 1 Oktober 2011.
Sebenarnya Okan sudah
cukup lama membuat hati Laura tertaut padanya, namun Laura merasa Okan hanya
bermain hati hingga Laura memutuskan untuk memupuk dalam-dalam perasaannya.
Kini ia telah menemukan sosok pria baru, namanya Brian, dan ia rasa pria ini
lebih baik dari Okan meski dari segi humorisnya Okan tetap tak bisa dikalahkan.
Walaupun begitu, ia tetap ingin menemui Okan, untuk mengetahui apa masih ada
getar-getar cinta yang ia rasakan dan bisakah ia melihat bening mata Okan
yang ia tangkap terdahulu.
♥♥♥♥♥♥♥♥♥
1 Oktober 2011...
Laura
berjalan mengelilingi kampusnya. Ini adalah kali pertama Laura mengetahui
keadaan kampusnya. Setelah ia selesai melakukan registrasi sebagai mahasiswa
baru sekitar jam setengah 3 siang tadi, Laura memutuskan untuk berkeliling
sejenak mengitari kampusnya sebelum kembali ke rumah, apalagi ia hanya
sendirian mengurusi segala keperluan registrasi yang melelahkan. Rasa penasaran
terhadap kampus yang diidam-idamkannya sejak bangku SMA juga mendorongnya untuk
menelusuri gedung kuliahnya ini.
Laura
mulai berjalan menyusuri lorong panjang di dalam kampusnya. Gedung ini penuh
dengan ornamen-ornamen bernuansa Eropa. Maklum gedung ini adalah peninggalan
jaman penjajahan Belanda yang saat itu digunakan sebagai kantor pusat
pemerintahan. Di sepanjang Laura berjalan, ia melihat dinding lorong dipenuhi
ukiran tulisan istilah-istilah hukum yang berbahasa Belanda. Laura berdecak
kagum dengan kampusnya sendiri sampai tak sadar ketika ia telah keluar dari
lorong dan di hadapannya kini terbentang pemandangan taman yang jarang ia temui
di institusi pendidikan lain.
Sebuah
taman yang dipenuhi pohon-pohon rindang yang daun-daunnya banyak menguning dan
di tengah-tengahnya terdapat kolam berbentuk lingkaran yang sangat luas. Di tengah-tengah
kolam itu terdapat lambang universitas tempat Laura kini kuliah yang terlihat
megah, Universitas Majapahit, kampus favorit di kota kediaman Laura kini dan kolam
itu dikelilingi oleh air mancur sehingga menambah kesan elegan pada setiap
orang yang datang di kampus itu. Di pojok-pojok taman terdapat patung-patung
tokoh pakar hukum dunia terkenal seperti Karl Marx dan Adam Smith.
Laura
melangkahkan kakinya ke taman itu. Ia disambut oleh gugur daun-daun kuning yang
jatuh perlahan tepat di hadapannya akibat terkena hembusan angin. Memang sekarang
sedang musim pancaroba, terkadang panas namun bisa saja tiba-tiba hujan melanda
atau mungkin hanya angin sepoi-sepoi diliputi angin mendung tanpa sinar
matahari seperti sekarang ini. Laura menikmati sekali setiap hembusan angin
yang menerpa wajahnya. Ia memejamkan matanya sejenak sambil menengadahkan
wajahnya ke langit lalu merasakan desiran angin yang menembus lapisan kulitnya.
“Ah
jarang sekali di kota sepanas ini aku bisa merasakan hawa sesejuk ini” gumam
Laura.
Seketika
Laura teringat kalau ia membawa kamera SLR kesayangannya, yang mengabadikan
segala momen-momen penting dalam hidupnya. Kali ini tak boleh ia lewatkan,
saat-saat ia baru mengenal kampusnya dan ia wajib mengabadikan momen ini
tatkala pertama kali ia menginjakkan kaki di kampusnya, di tempat yang menjadi
saksi bahwa ia kini diakui sebagai mahasiswa. Laura mulai mengambil foto dari
sudut manapun, dari kolam yang ada di tengah taman kampusnya, daun-daun yang
berguguran hingga memfoto dirinya sendiri dengan background kolam dan daun-daun kuning yang berguguran. Setelah puas
dengan foto-foto dirinya di tengah taman kampus, ia ingin mengambil dari sudut
yang lain. Ia memutuskan untuk duduk di kursi di dekat kolam. Kini ia memfoto
orang-orang yang berlalu-lalang di depannya, mengambil gambar kesibukan
orang-orang di kampus ini. Ia memfoto dari berbagai usia, mulai dari mahasiswa
baru yang banyak mondar-mandir hingga para dosen yang membawa berkas-berkas
registrasi maba menuju ke kantor dekanat yang ada di sebelah taman. Pandangan
kameranya menuju ke kantor dekanat itu. Namun sebelum ia mengambil gambar
kantor itu, tiba-tiba saja muncul sesosok manusia di lensa kameranya, dekat
sekali.
Laura
terperanjat. Nafasnya terhenti sejenak. Ia heran mengapa tiba-tiba ada sosok
pria di sampingnya. Pria itu memiliki rambut tipis dengan dahi yang lebar, alis
matanya juga tipis dan kulitnya kuning langsat seperti warna kulit yang dimiliki
orang Indonesia umumnya. Senyumnya, senyum lebar yang tersungging di wajah pria
itu sama persis seperti senyum Laura ketika ia bahagia atau sedang menyapa
teman-temannya. Bibir tipis yang dimilikinya menambah kemanisan sosok pria itu.
Badannya tak kurus juga tak kekar, namun ia memiliki badan yang tegap dan lebih
tinggi kira-kira 10 cm dari tinggi Laura.
♥♥♥♥
Malam 1 Oktober menjadi malam saksi tanpa alasan Laura tersenyum-senyum
sendiri di kamarnya. Pikirannya seperti sedang memutar video dalam otaknya
ketika bertemu pria tadi siang. Tak biasanya Laura tak bisa melepas
pandangannya pada sosok lelaki. Namun pria itu mampu mengobrak-abrik pikirannya
padahal ia baru berkenalan beberapa jam saja. Pria itu menyimpan sesuatu, ya
menyimpan sesuatu yang tak bisa Laura tebak.
Dan ketika ia sedang asyik dengan kenangan itu, seketika
Laura berkata dalam hati,
“Pria tadi siapa namanya ya?”
Lagi lagi kambuh kebiasaan buruk Laura ketika berkenalan
dengan orang baru, tidak menghafal nama orang dengan seksama.